Monday, December 31, 2012

Alam Takambang Jadi Guru

Ayat-ayat Allah yang sesungguhnya adalah langit & bumi seisinya.. hati tmpat pemahamannya, disanalah tempat menulisnya, yaitu Al-Qur'an. hatilah yg membuat segalanya indah.... hatilah yg harus di perbaiki. Shalat sebagai meditasi tertinggi dlm ISLAM.. TASAWWUF cara pemahaman ku. mencari MA'RIFAT dgn ALLAH tujuan hidup KU...

Sunday, December 30, 2012

Janji s Anak pada ORG tua nya (31 dis 2012)


Seorang ayah ingin mengajarkan kepada anaknya sejak dini yang baru duduk dikelas 3 SD untuk mengatur uang jajannya. Sang anak diberi uang Rp 30.000 perminggu (termasuk ongkos ojek). Biasanya uang tersebut diberikan sang ayah sehari sebelum anaknya masuk sekolah.

Pada minggu pagi mereka berdua hendak jalan-jalan ke kota untuk menikmati liburan. Sebelum berangkat, tak lupa sang ayah memberikan uang jajan mingguan anaknya dengan tiga lembar uang Rp 10.000. Dan uang tersebut disimpan rapi dalam saku celananya.

Ditengah keasikan sang ayah dan anaknya menikmati hari libur mereka, tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan kedatangan seorang kakek pengemis yangg telah tua renta sambil memelas.

Tak tega melihat sang kakek tua memelas, sang anak dengan sigap langsung mengeluarkan 3 lembar uang 10.000,- dari saku celana dan diberikan seluruhnya.

Kontan saja kakek pengemis ini terlihat sangat senang seraya mengucapkan rasa syukur dan terimakasih yang tak terkira kepada sang anak dan ayahnya ini.

Setelah si kakek tua berlalu, kemudian sang ayah bertanya;
“Sayang, kenapa kamu berikan semua uangmu untuk kakek itu? Bukankah satu lembar saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hingga nanti malam?”

“Ayah..kalau kakek tua itu ikhlas menerima yang sedikit maka aku ikhlas untuk memberikan yang lebih besar!” Jawab anaknya dengan wajah tersenyum..

“DEG!!!” Hati sang ayah langsung tersentak kaget mendengar jawaban tersebut.

“Nah, terus uang jajanmu untuk seminggu ke depan bagaimana?” Tanya sang ayah mencoba menguji.

“Kan aku masih punya ayah dan Ibu! Tidak seperti kakek tua itu yang mungkin hanya hidup sebatangkara di dunia ini.” Balas anaknya.

“Kenapa kamu begitu yakin kalo ayah dan Ibu akan mengganti uang jajanmu? Ayah nggak janji loh?” Kembali sang ayah mengujinya.

“Kalo ayah merasa bahwa aku adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada ayah dan Ibu, maka aku sangat yakin ayah dan Ibu tak akan membiarkan aku kelaparan seperti kakek tua itu..” Jawab sang anak mantap.

Seakan sang ayah tak percaya dengan jawaban dari putranya hingga ia kehabisan kata-kata. Ia tak menyangka jawaban seperti itu keluar dari seorang bocah kelas 3 SD. Ia seperti sedang berhadapan dengan seorang ulama besar dan ia tak bernilai apa-apa ketika berada dihadapannya.

Lalu ia berjongkok dan memegang kedua pundak anaknya..
“Sayang…ayah dan Ibu janji akan selalu menjaga dan merawatmu hingga Allah tetapkan batas umur ini. Ayah sangat sayang padamu..” Sambil kedua matanya berkaca-kaca seolah tak kuat menahan haru..

Sambil memegang kedua pipi ayahnya, sang anak membalas,
“Ayah tak perlu berkata seperti itu. Sejak dulu aku sudah tahu bahwa ayah dan Ibu sangat mencintai dan menyayangiku. Kelak jika aku sudah dewasa aku akan selalu menjaga ayah dan Ibu, dan aku tidak akan membiarkan ayah dan Ibu hidup dijalan seperti kakek tua itu…”

Dan airmata sang ayahpun tak terbendung mendengar jawaban tulus dari anaknya. Dipeluklah tubuh mungil itu dengan sangat erat. Dan kedua larut dalam haru dan kasih sayang.

Semoga ada manfaatnya...,
Silahkan dishared untuk saling berbagi inspirasi kebaikan.

Hadist di tulis 100thn setelah Nabi wafat


SEJARAH DITULISNYA HADIST-HADIST NABI MUHAMMAD OLEH BUKHARI Dkk

by Ahmad Bigaw on Tuesday, December 18, 2012 at 8:29pm ·
SEJARAHA DITULISNYA HADIST-HADIST NABI MUHAMMAD
(Tulisan ini saya sadur dari tulisan Bpk. Djoko Judojono dalam sebuah diskusi, dan saya sebagai salah satu peserta diskusi) dan saya sangat sependapat dengan tulisan Pak Djoko Judojono, tulisan beliau sbb :
------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam buku Pengantar Study Ilmu Hadits karya Syaikh Manna’ Al-Qathathan seorang ulama yang mumpuni juga seorang profesor dan juga Ketua program paska Sarjana di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Saudi Arabia, pada halaman 47 tertulis sbb :

Ada beberapa nash yang BERTENTANGAN dalam hal penulisan hadits, sebagian menunjukan adanya larangan dan sebagaian lain membolehkan penulisan.


A. RIWAYAT YANG MELARANG PENULISAN HADITS :

1. Dari Abu said Al-Khudri RA. Bahwa Rasulullah Saw bersabda : “ JANGANLAH MENULIS KATA-KATAKU, SIAPA YANG MENULIS DARPADAKU SELAIN AL QUR’AN HENDAKNYA DIHAPUS (DILENYAPKAN), SAMPAIKAN UCAPAN2 KU, TIDAK MENGAPA. TETAPI BARANGSIAPA YANG SENGAJA BERBOHONG ATAS NAMAKU DIA TELAH MEMILIH TEMPATNYA DI NERAKA. ( H R MUSLIM)

2. Dari Abu Said Al-khudri : “Kami memohon izin dari Razul SAW unruk menulis hadits Rasulullah namun beliau tidak mengizinkan.” (sunan Turmudzi jus 5 hal 38)

3. Dari Abu Said Al-khudri : “JANGANLAH KALIAN MENULIS APA2 DARIKU SELAIN AL QUR’AN. BARANG SIAPA YANG TELAH MENULISKANYA, HENDAKNYA IA MENGHAPUSKANYA. ( Sunan Darimi Juz1 hal 119 dan juga Musnad Ahmad ibnu Hanbal Juz 3 hala 12-13)

4. Dari Zaid bin Tsabit ( ada tiga riwayat yang hampir sama dengan sanad yang berbeda) : Rasulullah telah memerintahkan kepada kami untuk tidak menulis sesuatupun dari hadits beliau, lalu hadits yang telah tertulis itu semua dihapus. (Sunan Abi Dawud juz3 hal 319 dan Dainuri , Jami Bayan al –Sunnah al-Syarifah. Juz 1 halaman 63. Dan dua riwayat lainya dari kumpulan buku hadits yang ber beda-beda)

5. Dari Abu Hurairah RA : “Rasulullah SAW datang kepada kami ketika kami sedang menulis hadits beliau, lalu beliau bersabda : “Apa yang sedang kalian tulis?”. Kami menjawab: “Hadits2 yang kami dengar dari Engkau”. Beliau berkata : “APAKAH KALIAN MENGHENDAKI KITAB SELAIN KITABULLAH?. TIDAKLAH SESAT UMAT SEBELUM KALIAN MELAINKAN KARENA MEREKA MENULIS DARI KITAB-KITAB SELAIN KITABULLAH (AL QUR’AN). ( Diriwayatkan Al Khatib al-bagdadi hal33 dan Ihya Sunnah Nabawiyah.)

6. Dari Abu Hurairah RA : Rasulullah bersabda : “Sucikanlah Kitab Allah, murnikanlah Kitabullah.” Lalu kami mengumpulkan apa2 yang kami tulis (hadits) dan membakarnya lalu kami bertanya : “Ya rasulullah, apakah kami masih bisa meriwayatkan sabda-sabdamu (secara lisan)?”. Beliau berkata : “TIDAK MASALAH, NAMUN BARANGSIAPA YANG DENGAN SENGAJA BERDUSTA KEPADAKU, TEMPATNYA ADALAH NERAKA.” .(M.R. Jalali Husaini . Tadwin al-Sunnah al Syarifah hal 298, dinukil dari Khatib Al-Bagdadi, Taqyid al-Ilm.) Dan juga bisa diperhatikan riwayat2 ini dengan sanad yang sama juga dinukil dari Abu Said.


B. RIWAYAT YANG MEMPERBOLEHKAN PENULISAN HADITS :

1. Dari Abdullah bin Amru bin Al-ash ra. : Rasulullah bersabda : “TULISLAH DEMI JIWAKU DITANGAN-NYA (maksudnya Allah SWT) TIADA SESUATU APAPUN YANG KELUAR DARI-NYA MELAINKAN YANG HAK DAN BENAR.” (Sunan Ad Darimi)

2. Dari Abu Hurairah RA : Tiada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin Amru (Al-Ash) karena dia menulis dan akau tidak menulis.” ( HR. Bukhari)

3. Dalam Ash Shaihain diriwayatkan ketika Nabi Berkutbah memasuki Mekkah setelah memenangkannya, seorang penduduk Yaman bernama Abu Syah berkata : “Wahai Rasulullah tulislah untuku.” Dan beliau bersabda “tulislah untuk Abu Syah”.

4. Dari Anas bin malik: Rasulullah bersabda: “Ikatlah ilmu dengan Buku.” ( Al Khatib dalam Tayidul Ilm hal 74)


Atas dasar A dan B inilah para ulama terbelah pendapatnya. Ada rombongan yang melarang dan ada rombongan yang memperbolehkan.

Dalam beberapa buku tentang ini , tidak ada pendapat yang bulat dari para ulama atau ahli2 sekarang mendukung yang benar yang mana. Bahkan para pendukung setuju untuk penulisan, mengajukan berbagai alasan yang terlihat kurang kuat.

Umumnya lalu mereka menerima saja kenyataan bahwa hadits sudah terlanjur tertulis dan bahkan sudah dibukukan rame2 oleh banyak sekali penulis hadits.

Saya pribadi berpendapat, sekali lagi saya kutip dahulu pesan pak Budi Santoso yang menurut saya sangat mengena sbb : ......... Ini hanyalah keyakinan saya, ..........tidak ada keharusan seseorang untuk mengikutinya [QS 2:256], semua atas kesadaran dari apa yg 'dilihat oleh Hati masing-masing'.......

Dan pendapat saya pribadi sbb :

Alasan saya yang Pertama :

Nabi SAW bersabda, jangan ditulis tetapi secara lisan (orally) boleh diriwayatkan. Bahkan Nabi mengingatkan kalau buat tulisan atau buku untuk disandingkan kepada AlQur”an, Nabi bahkan mengatakan bhw umat2 yang lalu saja mereka jadi sesat. Contoh Yahudi (Judaism) Tauratnya ditandingi dg kitab Hadits para Rabbi2 mereka yaitu ada Talmud, Gemara Misnah, dlsb.
Contoh lain Bible. A.Deedat dalam THE CHOICE mengatakan, Al Quran redaksinya konsisten terus dari awal hingga akhir yaitu bergaya top down, dari Tuhan kepada Manusia, sedangkan Bible (sebab ditulis banyak tangan manusia) menjadi kacau, kadang2 perintah2 Nabi2 masih terlacak secara langsung dan bercampur dengan banyak hadis dari nabi2 maupun cerita orang2 biasa saja. Namun jangan cepat2 meremehkan Bible. Banyak pakar Kristology berpendapat kandungan ajaran Tuhan terlacak 20 sampai 30 percent di dalamnya.

Selanjutnya, saya kira perintah Nabi Muhammad SAW agar kita tidak menuliskan haditsnya ini benar2 kuat dan sangat beralasan agar seterusnya Hadits nya tidak dituliskan. Alasan kuat adalah Nabi tahu akan banyak menyesatkan umat seperti umat yang telah lalu. Dan bukankah ini juga disebutkan didalam banyak ayat Al Qur’an?


Alasan saya yang Kedua :

Ini hanya masalah fakta, bahwa Nabi wafat dan sampai kira2 100 tahun tidak ada yang menulis haditsnya. Tiga Khalifah Abu Bakar, Umar Bin Khatab dan Usman “sangat strict” dalam mematuhi perintah itu. Ini selalu diriwayatkan dalam buku2 tentang study hadits itu sendiri.

Bahkan ada suatu riwayat dalam salah satu buku saya menceriterakan sbb : Ketika nabi bersabda jangan ditulis maka segera Umar bin Khatab sangat gesit melakukan sweeping dari rumah ke rumah memastikan pemusnahan tulisan itu.

Cerita2 dalam buku2 tsb terutama mengenai masa kurang lebih 100 tahun tak ada tulisan hadits melainkan hanya dihafal dan disampaikan secara “oral tradition”. Ada pendapat bahwa Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab, namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.

Pada masa pemerintahan Khalifah “Umar bin Abdul Aziz” yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah, datanglah ‘angin segar’ yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.

Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia.

Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya.

Maka tergeraklah ia untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.


Saya pernah ungkapkan diatas sekali bahwa, kumpulan kitab hadits pertama yang bisa dilacak manusia sekarang adalah Kitab Al Muwatho (TELAH TERKUASAI) karya Imam Malik bin Anas yang siap menjadi buku kira2 pada tahun 140 Hijriah.

Alasan yang sangat kuat : “APAKAH KALIAN MENGHENDAKI KITAB SELAIN KITABULLAH?. TIDAKLAH SESAT UMAT SEBELUM KALIAN MELAINKAN KARENA MEREKA MENULIS DARI KITAB-KITAB SELAIN KITABULLAH (AL QUR’AN).

Kalau ada alasan lain itu pasti pendapat pribadi orang lain bukan alasan dari Nabi sendiri.

Dan alasan kuat itu se - akan2 nabi mengatakan ...... BILA KAMU MENULISKAN HADIS DAN MENYANDINGKANNYA DENGAN AL-QURAN ATAU BAHKAN MAU MENGGANTIKAN AL QURAN DENGANNYA ....... INGATLAH PASTI KAMU AKAN JADI SESAT SEPERTI UMAT TERDAHULU ..... YAHUDI DENGAN TAURAT NYA DIDAMPINGI TALMUD, DSB-NYA. PAULINE CHRISTIAN YANG MENGGANTI INJIL ASLI DENGAN MENGGABUNGKAN HADITS 2 PAULUS KE DALAMNYA .


APAKAH ALASAN NABI INI TIDAK KUAT ? MENURUT SAYA INILAH ALASAN YANG PALING DASAR DAN KUAT, NABI PASTILAH TAHU ITU.


KESIMPULAN sampai disini adalah sbb :

NABI BETUL2 MENGHENDAKI HADITS NYA TIDAK DITULISKAN, HANYA BOLEH DIHAFAL DAN DISAMPAIKAN SECARA MULUT KE MULUT ATAU LISAN SAJA, NAMUN JANGAN BOHONG ...... ADA ANCAMANYA. DAN HAL INI DIIKUTI OLEH UMAT NABI YANG DULU SAMPAI HAMPIR KURANG LEBIH 100 TAHUNAN SETELAH NABI WAFAT.


Itu kesimpulan sementara ini , karena nanti ada kesimpulan akhir setelah kita bahas APA SEBETULNYA PENDAPAT AL QUR’AN DALAM HAL INI .


Jadi fakta bahwa kurang lebih 100 tahunan perintah Nabi SAW hanya menghafal dan menyampaikan haditsnya secara lisan dari mulut ke mulut ini benar-benar di ikuti dengan sangat patuh, ini membuktikan bahwa perintah itu betul-betul ada dan tidak main-main .

Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.

Jadi kalau ada pertanyaan "Siapakah yang mula2 ada ide untuk menuliskan hadis sehingga perintah Nabi SAW dilanggar" .....Maka, Kalifah Umar bin Abdul Azis inilah orang pertama yang tidak mau tunduk-patuh kepada perintah nabi.

Setelah penulisan pertama pada abad kedua Hijriah itu (tahun 100 dst), sejarah membuktikan bahwa di abad ketiga (tahun 200 dst) terjadi penulisan dan pembukuan hadits secara besar2 an. Tokoh paling ternama adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Termidzi , An Nasai, dll.
Al Muwatho yang hanya membukukan kurang lebih 870 hadits ini pada waktu abad ketiga telah berkembang menjadi kurang lebih 700.000 buah hadits

Dalam bukunya “Sunnah dibawah ancaman” , Dr Daud Rasyid, MA menuliskan di hal 106 :
Inilah hadits2 Bukhari, menurut Ibnu Shalah jumlahnya 7275 termasuk pengulangan, tetapi dengan menghilangkan jumlah hadits ulangan maka jumlah Hadits Bukhari ada 2602 saja.
Adapun Shahih Muslim menurut penomoran Mohammad Fuad Abdul Baqi berjumlah 3033 hadits kalau dengan hadits ulangan jumlhnya diatas 8000 buah.

Di buku yg sama hal 86 tertulis : Al Ismaili meriwayatkan dari Bukhari : Aku tidak memuat dalam kitab ini kecuali hadits yang sahih, namun hadits sahih yang aku tinggalkan di luar sana jumlahnya lebih banyak.


Dari bacaan buku2 dlsb saya berkesimpulan : tak seorangpun di dunia ini yang mampu menemukan dan membukukan semua hadits shahih dari Nabi Muhammad SAW .

Salam

Friday, December 28, 2012

permulaan perpecahan di dalam Islam


" KISAH ANTARA ALI, ABU DZAR DAN UTSMAN "

Ali bin Abi Thalib tengah galau memikirkan kondisi negara dan umat Islam yang dilanda kekacauan akhir-akhir ini yang disebabkan kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan. Gaya kepemimpinannya yang sangat nepotis itulah yang menjadi penyebabnya. Cara hidup yang mementingkan kesenangan duniawi di kalangan keluarga penguasa, dan sistem kekuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah membangkitkan rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat Islam.

Beberapa waktu setelah terbai'at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan mengangkat orang-orang dari kalangan keluaganya (Bani Umayyah) dan di tempatkan pada kedudukankedudukan penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi penting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai kepala daerah atau gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.

Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman, ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (ghanimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang dihadiahkan oleh Khalifah Utsman kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu. Pembagian ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Qur'an.

Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman yang dikendalikan oleh kerabat dekatnya, Marwan bin Hakam dan kawan-kawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.

Di antara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman juga merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bahkan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.

Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama "Mazhur", oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.

Namun yang sangat menyakitkan Ali adalah pengambil-alihan tanah Fadak oleh khalifah dan kemudian diserahkannya kepada kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini memiliki arti yang sangat khusus di mata Ali dan mengingatnya selalu membuat hatinya sedih sekaligus marah.

Tanah fadak adalah tanah pampasan perang yang oleh Rosulullah telah diberikan kepada putri tercintanya, Fathimah az-Zahra sang bunga surga, yang juga istri tercinta Ali bin Abi Thalib. Tindakan Rosulullah memberikan tanah Fadak kepada Fathimah adalah mengikuti perintah Allah yang diturunkan dalam Al Qur'an: "Dan kepada kerabatmu, berikanlah akan haknya." Tanah ini sangat subur dan luas dan selama bertahun-tahun dalam masa pemerintahan Rosulullah telah memberikan banyak keuntungan bagi keluarga Ali dan Fathimah.

Saat Abu Bakar berkuasa sebagai khalifah, ia mengambil tindakan yang sangat menyakitkan Fathimah dan Ali, yaitu merampas tanah itu dengan dalih sebuah hadits yang sangat kontroversial. Abu Bakar berdalih bahwa Rosulullah pernah bersabda bahwa sebagai seorang rosulullah beliau tidak meninggalkan warisan. Atas dasar hadits itu maka Abu Bakar mengambil alih tanah fadak dan menyerahkannya sebagai harta kekayaan negara (baithul mal).

Fathimah dan Ali tidak pernah mendengar hadits tersebut tentu saja menolak klaim Abu Bakar. Bagaimana mungkin sebagai ahli waris, Fathimah tidak diberitahu oleh Rosulullah langsung kalau memang beliau pernah mengatahan hal itu. Selain itu hadits tersebut juga bertentangan dengan Al Qur'an yang menyebutkan para rosul juga meninggalkan warisan sebagaimana Nabi Daud memberi warisan kepada Nabi Sulaiman dan Nabi Zakaria memberi warisan kepada Nabi Yahya. Bahkan ketika Fathimah berdalih tanah tersebut bukan warisan karena telah diberikan Rosulullah beberapa tahun sebelum meninggal, Abu Bakar tidak bergeming. Dengan dalih sebagai amirul umat ia tetap mengambil alih tanah fadak sehingga membuat Fathimah marah dan membawa kemarahannya hingga ke liang kubur.

Abu Bakar telah membuat Ali marah karena merampas tanah fadak untuk kepentingan umat. Apalagi Usman yang telah merampasnya untuk diserahkannya kepada kerabatnya sendiri.

Khalifah Utsman juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradisional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.

Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang sekarang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Dengan kekuasaan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.

Abdullah adalah saudara sesusuan Khalifah yang pernah dijatuhi hukuman mati oleh Rosulullah sewaktu Penaklukan Mekkah, karena kejahatannya yang luar biasa kepada Islam. Ia selamat setelah Utsman menghalang-halangi niat nabi untuk mengeksekusinya. Sebenarnya Nabi tidak pernah mengampuninya. Beliau hanya menghindari perselisihan dengan Utsman yang ngotot membela saudara sesusuannya meski Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk memenuhi perintah Rosulnya, tanpa reservekarena perintah Allah memang tidak untuk diperdebatkan.

Kepada Abu Sufyan, dedengkot Quraisy yang dulunya terkenal peranannya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w., dan baru masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman diberi hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.

Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal, Zaid bin Arqam (salah satu sahabat utama yang paling awal masuk Islam dan rumahnya dijadikan sebagai tempat dakwah awal Rosulullah), menghadap Khalifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.

Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: "Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?"

"Tidak!", jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan mengusap air mata. "Aku menangis karena aku menduga anda mengambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah s.a.w. masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak."

"Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!" hardik Khalifah dengan wajah merah padam. "Kami bisa mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau."

Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau menanggulangi, sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.

Ali dan banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksikan tindakan-tindakan Khalifah Utsman. Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah mementingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.

Namun Ali kemudian ingat hadits Rosulullah, bahwa sebagian dari para sahabat yang dahulu iklhas berjuang menegakkan Islam, setelah kematian Rosulullah akan saling bertikai karena memperebutkan dunia. Ali juga ingat dengan peringatan Allah kepada Rosulullah mengenai "melencengnya" para sahabat dari jalan Allah sepeninggal beliau. Hingga di akhirat kelak Rosul akan bersaksi sebagaimana kesaksian Nabi Isa atas pengikut-pengikutnya: "Aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Kemudian setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka." (QS Al Maidah 117)

Betapa klalifah telah menyimpang dari ajaran Rosul. Ia bahkan berani menentang nash-nash yang telah jelas dalam Al Qur'an dan hadits, misalnya dalam hal pembagian ghanimah dan merehabilitasi musuh Rosulullah. Ali masih mengingat dengan jelas apa yang telah disumpahkan oleh Uthsman sebelum dilantik sebagai khalifah.

Saat itu, sidang majelis syoru yang dibentuk untuk memilih khalifah pengganti Umar bin Khattab sampai pada satu titik di mana kandidat khalifah telah mengerucut menjadi dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Abdurrahman bin Auf kemudian mengambil inisiatif. Ia mendatangi Ali dan manyatakan bahwa ia dan anggota-anggota majelis lainnya akan membai'at Ali jika mau bersumpah akan menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur'an, sunnah Rosul dan sunnah Abu Bakar dan Umar.

Ali dengan tegas menolak permintaan tersebut dan hanya mau bersumpah menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur'an dan hadits Rosul.

Kemudian Abdurrahman mendatangi Uthsman dan mengajukan permintaan yang sama. Dengan tegas Uthsman menyetujuinya. Maka terpilihlah Uthsman sebagai khalifah. Namun kebijakan pemerintahan pertama yang dilakukannya justru melanggar sumpahnya, yaitu mengganti para pejabat yang telah diangkat Abu Bakar dan Umar dengan pejabat dari kerabatnya sendiri.


Abu Dzar dibuang

Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.

Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.

Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya. Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da'wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys hingga ia nyaris meninggal karena dikeroyok orang-orang Qureiys yang marah. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.

Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: "Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!"

Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai "cahaya terang benderang."

Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.

Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.

Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: "Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!"

Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: "Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!" Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.

Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar, gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.

Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.

Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.

Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang dengan ayat-ayat Al Qur'an: "Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada hari kiamat."

Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.

Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh heran melihat orang yang di rurnahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!"

Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.

Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: "Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…," "Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…", "Penguasa adalah abdi masyarakat," "Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya...." dan lain sebagainya.

Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.

Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!"

Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Namun meski membahayakan kekuasaan, Abu Dzar adalah sahabat Rosul yang mulia. Muawiyah tidak berani bertindak keras terhadapnya. Ia hanya harus disingkirkan dari daerah kekuasaannya.

Segera Muawiyah menulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar yang menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.

Khalifah Utsman melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"

Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: "Tinggal sajalah di sampingku!"

Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"

Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman, sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.

Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah, satu daerah di tengah padang pasir yang tidak berpenghuni dan tandus. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.

Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman. Ia berkata: "Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku."

Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.

Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.

Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman di atas: Khalifah Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.

Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: "Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!"

Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: "Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka."

Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.

Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.

Dzakwan di kemudian hari menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: "Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"

Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa."

Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu."

Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!"

Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"

Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…"

Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku, yakni Marwan dan meremehkan perintahku?"

"Tentang petugasmu," jawab Imam Ali r.a. dengan tenang "ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya."

"Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.

"Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?" tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.

"Kendalikan dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.

"Mengapa?" tanya Imam Ali r.a.

"Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya" jawab Khalifah.

"Mengenai untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman, "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!"

"Mengapa dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh. "Apakah engkau lebih baik dari dia?!"

"Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.

Sikap Ali bukanlah cerminan kesombongan, melainkan cerminan integritas diri. Ali menyadari sepenuhnya keutamaannya dibandingkan Uthsman: Ali lebih dahulu masuk Islam, Ali lebih banyak jasanya dalam menegakkan perjuangan Islam, Ali kerabat dekat Rosul sekaligus suami dari anak kesayangan Rosul. Ia orang yang oleh Rosul dinyatakan sebagai "saudara Rosul sebagaimana Nabi Harun bagi Nabi Musa", "kunci kota ilmu", "orang yang diridhoi Allah dan Rosulnya" serta julukan-julukan bernada pujian lainnya yang tidak disandang orang lain. Dan lebih dari itu Ali adalah seorang ahlul bait yang oleh Allah telah dinyatakan suci.

Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.

Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan, para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: "Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik."

"Aku memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?"

"Tidak," jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya."

Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: "Yang kau ketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang ku maksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."

Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman berkata dengan nada lemah lembut: "Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah ku ikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu....!"

Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.

Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun turut menangis sedih!

Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut: Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri bertahan hidup dengan sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan.

Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik.

Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa engkau menangis?"

"Bagaimana aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu, "kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!''

Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: "Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!"

"Bagaimana mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!"

"Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. "Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!"

Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?"

"Apakah kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik bertanya. "Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?"

"Siapa dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.

"Abu Dzar Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.

Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. "Sahabat Rasul Allah?" tanya mereka untuk memperoleh kepastian.

"Ya, benar!" sahut isteri Abu Dzar.

Dengan serentak mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!"

Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata: "Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku.....Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai."

Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: "Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih payahku.

Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…"

"Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!" Sahut Abu Dzar.

Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.

Selesai dimakamkan, orang Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: "Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan dihinakan. Sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!"

Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan "Aamiin" dengan khusyu'. Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat. Semasa hidupnya Rosulullah pernah berkata kepadanya: "Engkau datang sendirin. Engkau pun akan maninggal dalam kesendirian." Sementara Abu Dzar pernah berpesan: "Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku..."

Namun tragisnya, para musuh Abu Dzar masih terus berusaha mendeskreditkan manusia "mulia" ini. Misal adanya sebuah cerita bahwa Abu Dzar pernah meminta suatu jabatan pemerintahan kepada khalifah. Permintaan tersebut ditolak karena Abu Dzar dianggap sebagai orang yang lemah dan itu menjadi penyebab ia menentang khalifah.

Yah begitulah. Bahkan kepada para ahlul bait yang oleh Allah telah disucikan sesuci-sucinya pun, mereka masih berusaha mendeskreditkannya, sampai sekarang.
 

Friday, December 21, 2012

perihal gelaran SIDI yg menjadi polemik

Ibnu Samsuddin Sidi itu adalah gelar bangsawan Pariaman asal Aceh. Menurut cerita rakyat setempat asal katanya Sayyid. Tapi apakah Sayyid keturunan ahlulbait atau Sayyid keturunan Abu Bakar. Soalnya, ahlusunnah wal jamaah juga menyematkan gelar Sayyid kepada Abu Bakar....tapi biasanya teman ane yang orang Padang acap berseloroh, "Dapatkan Sidinya di toko2 kaset terdekat." Wkwkwkw

Thursday, December 20, 2012

Hadis keutaman Ahli Bayt



"KONTROVERSI HADIST TSAQALAYN "

Rosulullah bersabda: "Wahai seluruh manusia, sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian dua warisan berharga, yang apabila kalian berpegang kepada keduanya niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu kitabullah dan 'itrah, ahlulbaytku." (HR Tirmidzi)

Rosulullah bersabda: "Aku merasa utusan Tuhanku (malaikat Israil) akan segera datang. Akupun segera menjawabnya. Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian dua buah peninggalan agung (tsaqalayn). Yang pertama kitabullah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Kemudian ahli baitku. Aku ingatkan kalian pada ahli baitku." (HR Muslim)

Para ahli hadits klasik maupun modern telah men-tashhih kedua hadits di atas. Di antara ahli hadits klasik adalah Muslim dalam kitabnya "Shahih", Tirmidzi dalam kitabnya "Sunan", al Hakim dalam kitab "Al Mustradrak", dan imam Ahmad dalam kitab "Musnad". Nama mereka semua adalah jaminan kevaliditasan sebuah hadits. Bahkan ummat Islam Sunni secara umum menganggap kitab "Shahih" Muslim dan Bukhari sebagai kitab paling valid setelah Al Qur'an.

Menurut ahli hadits komtemporer Mu'tashim Sayid Ahmad, hadits tsaqalayn diriwayatkan oleh 25 sahabat Rosul dan 18 tabi'in. Menurutnya antara abad II hingga IV Hijriah hadits tsaqalayn diriwayatkan oleh 323 perawi. Adapun menurut ahli hadits Husein al-Ridha, perawi hadits tersebut mencakup 35 sahabat Rosul, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Amr bin Ash, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah. Dalam tradisi Sunni nama-nama sahabat tersebut adalah jaminan validnya sebuah hadits.

Namun ironisnya dalam hal hadits tsaqalayn di atas, sebagian besar ulama Sunni menolak hadits tersebut, yang secara otomatis diikuti oleh sebagian besar umat Islam Sunni. Kalaupun umat Islam Sunni menerima hadits tersebut, redaksinya telah diubah. Kata "ahli bait" atau "ahlulbayt" telah diganti kata "sunnah", menyembunyikan keberadaan orang-orang yang telah disucikan Allah dengan surat Al Ahzab ayat 33 sekaligus melupakan kewajiban untuk menghormati keluarga Rosul padahal setiap hari mereka mengucapkan sholawat kepada Rosul dan keluarganya dalam sholat.

Marginalisasi ahlul bait dilakukan secara sistematis, hingga di Indonesia redaksi terjemahan resmi Departemen Agama dalam surat Ash Syuura: 23 pun dipelesetkan dari: "Katakanlah (Muhammad): Aku tidak meminta upah atas seruanku kecuali kasih sayang kepada keluargaku", menjadi "Katakanlah (Muhammad): Aku tidak meminta upah atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". Yang pertama dengan jelas menunjukkan perintah kepada umat Islam untuk menghormati keluarga Rosul dengan segala konsekwensinya termasuk menjadikan mereka sebagai pemimpin dan rujukan ilmu dan hukum. Sedangkan yang kedua, "kasih sayang dalam kekeluargaan" adalah sebuah perintah yang normatif dan tidak jelas.

Umumnya penolakan tersebut berdasar pada pendapat dua orang ulama Ibnu Jauzi dan Ibnu Taimiyah. Menurut Jauzi lemahnya hadits tsaqalayn karena di antara perawinya terdapat ulama dari kota Kufah. Alasan tersebut sangat jelas berdasar subyektifitas belaka. Adapun menurut Taimiyah, hadits tersebut berasal dari Tirmidzi dan telah dilemahkan oleh Imam Ahmad. Padahal seperti telah disebutkan, hadits tersebut tidak hanya melalui jalur Tirmidzi, tapi juga melalui ahli hadits besar lainnya seperti Muslim, al Hakim, dan Imam Ahmad.

Jika diteliti alasan para ulama penolak hadits tsaqalain sangat subyektif dan tidak berdasar. Ali as Salus misalnya mengatakan, meski diriwayatkan oleh banyak sahabat, namun tak satupun di antaranya yang sahih. Bagaimana mungkin ia menafikan para sahabat utama yang telah meriwayatkan hadits tersebut sebagaimana telah disebutkan di atas? Adapun Ibnu Taimiyah, setelah gagal melemahkan hadits tersebut dari sisi sanad, menggunakan argumen lain yang justru memperlihatkan kekacauan berfikir. "Sesungguhnya hadits tsaqalayn tidak menunjukkan kita wajib mengikuti ahlul bait melainkan kewajiban untuk berpegang pada Al Qur'an saja," kata Taimiyah. Lihatlah bagaimana Ibnu Taimiyah, ulama yang terkenal sebagai pembenci ahlul bait, berbicara ngawur setelah kebenaran yang terang-benderang tidak bisa dibantahnya. Lebih aneh lagi pendapat Mu'tashim Sayid Ahmad yang mengatakan hadits tsaqalain tidak terdapat pada kitab-kitab induk, seolah kitab "Shahih" Muslim bukan kitab induk wajib pegangan ummat Islam Sunni setelah Al Qur'an.

Jika mau obyektif, hadits tsaqalain adalah hadits yang mutawatir (hadits dengan derajat kevaliditasan tertinggi) karena telah diriwayatkan oleh banyak sahabat dan diturunkan oleh para tabi'in dan generasi-generasi setelahnya. Hanya orang-orang yang mempunyai penyakit di hatinya kepada ahlul bait lah yang berani menolak kebenaran hadits tersebut. Adapun masyarakat umum Sunni, termasuk di Indonesia, hanya ikut-ikutan saja — bersama Hai Ubaid Malahayati Maxavellar Chan Andef KhanDenny Siregar Abu Bakar Hangus Manih KA PucuakDLL
 — with Mimi Abdurrahman,Alberto Mahaluby MiscionerryPutih MelatiIjabi JatimNovi IndriAndef KhanIjabi KudusGrey LandauIbnu TalibUmar KhotobSyeikh Al AssoySadili Ahmad,Hendra KurniawanNovel SevenfoldJuna Merambah BelantaraChand Raa IfJiwa TersesatA Ady GenerfileJek AangLaogi MahdiLaskar MahdiVan HookLawtan Wijaya NayaJujun RustandiA Ling FadlyYazid'Muawiyah Amirul'Munafiqin LaknatullahLizza MaharaniPaulus Si-Lidah UlarAde FaisalDicky EttoAde Sofiawati GusmanMuhammad FaisalRaden Aryo PenangsangIbn DafaZulfikar Haidar FikarEleazar Y'shuaHai Ubaid MalahayatiJu'i Zerofive MasiadaasaAhmad El-habsheeSandra FauziaMemet DawilSyi Su and Denny Siregar.
Like ·  · Share · March 25

Debat masalah Mut'ah ..Syiah -Sunny



  • Khilafah Empiror Jawab: nikah mut’ah adalah haram dan bathil jika terjadi berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim Rahimahumallah dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu. Al-Bukhari dalam Kitab Al-Hiyal (6560) dan Muslim dalam kitab An-Nikah (1407), juga terdapat dalam Sunan Tirmidzi dalam kitab An-Nikah (1121), Sunan An-Nasa’i dalam kitab Ash-Shaid wa Adz-Dzaba’ih (4334), Sunan Ibnu Majah dalam kitab An-Nikah (1961), Musnad Ahmad bin Hanbal (1/79), Muwaththa’ Malik dalam kitab An-Nikah (1151), Sunan Ad-Darimi dalam kitab ¬An-Nikah (2197), “Bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang jenis pernikahan mut’ah dan (melarang) memakan daging keledai Ahliyah pada hari Khaibar.”
    Dalam riwayat Malik 2/542, Ahmad (1/79, 103, 142), Al-Bukhari (5/78, 6/129, 2 30, 8/61), Muslim (2/1027, 1028 no.1407), Tirmidzi (3/430, 4/254, no.1121, 1794), An-Nasa’I, (6/125-126, 7/202, 203, no.3365,3367,4335,4336), Ibnu Majah (1/630, no.1961), Ad-Darimi (2/86, 140), Abdurrazzaq (7/501-502, no.14032), Abu Ya’la (1/434, no.576), Ibnu Hibban (9/450,453, no.4143,4145), dan Al-Baihaqi (7/201,202) “Beliau melarang dari jenis mut’atun nisaa’ (menikahi wanita dengan cara mut’ah) pada hari Khaibar.”
    Imam Al-Khattabi berkata, “Pengharaman nikah mut’ah berdasarkan ijma’, kecuali sebagian syi’ah dan tidak sah qa’idah mereka yang menyatakan untuk ‘mengembalikan perselisihan kepada Ali’, padahal telah shahih dari Ali pendapatnya bahwa nikah mut’ah telah dihapus hukumnya.”
    Imam Al-Baihaqi menukilkan dari Ja’far bin Muhammad (Al-Baqir) bahwa beliau pernah ditanya tentang nikah mut’ah maka beliau menjawab, “itu adalah perbuatan zina.”
    Demikian pula imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda. Lafazh hadits (yang akan disebutkan ini) juga diriwayatkan Ahmad 2/405-406, Muslim 2/1025, no.1406. Ibnu Majah 2/631, no.1962, Ad-Darimi 2/140, Abdurrazaq 7/504, no.14041, Ibnu Abi Syaibah 4/292, Abu Ya’la 2/238 no.939, Ibnu Hibban 9/454-455 no.4147, dan Al-Baihaqi 7/203. “Sungguh! Aku dahulu mengijinkan kalian untuk melakukan mut’ah dengan wanita. (Ketauhilah!) sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barangsiapa yang masih melakukannya hendaklah meninggalkannya dan jangan mengambil sesuatu yang telah ia berikan kepadanya (wanita yang dia mut’ahi).”
    Wabillahit Taufiq, wash shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam
  • Khilafah Empiror BAIKLAH MAKA THREAD INI DIANTARA SAYA DGN ENCIK HYTE TELAH DIBATALKAN LALU SAYA MENGANGGAP ENCIK HYDE TIDAK DAPAT MENJAWABNYA MELAINKAN DENGAN BERPUSING2 HUJJAH YANG LAIN DENGAN PENUH EMOSI DAN RIAK TIDAK MAHU MENGAKUI KEDHOIFAN TTG MENGUTARAKAN HUJJAHMENGENAI HUKUM SYARA'YANG TELAH DIPERBAHASKAN DISINI ,SEGALA PERSOALAN BARU TIDAK AKAN DILAYAN KERANA SOALAN SEDIA ADAPUN TIDAK MAMPU DIBAHASKAN DENGAN CARA ILMIAH OLEH ENCIK HYDE.ADA DALIL DIPUSINGKAN ATAU LEMPAR DIDALAM LONGKANG ( MAAF JIKA ENTA MALU DENGAN PERNYATAAN ANA).KITA SENTUH BAB TERJEMAHAN AYAT DARI SOALAN SAYA DIATAS INI....Firman Allah Ta’ala [ Surah An-Nisa'] ayat 24::

    ﴿ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً ﴾

    Ertinya::

    “Dan (diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan-perempuan isteri orang, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki [ - iaitu hamba sahaya yang dimiliki dengan jalan tawanan dalam perang Sabil, yang suaminya tidak tertawan sama - ].( Haramnya segala yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan ke atas kamu).Dan (sebaliknya) dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan yang lain daripada yang tersebut itu, untuk kamu mencari (isteri) dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina.

    Kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah menjadi isteri kamu), maka berikanlah kepada mereka mas kahwinnya (dengan sempurna), sebagai suatu ketetapan (yang diwajibkan oleh Allah).

    Dan tiadalah kamu berdosa mengenai sesuatu persetujuan yang telah dicapai bersama-sama oleh kamu (suami isteri), sudah ditetapkan maskahwin itu (tentang cara dan kadar pembayarannya)....MELALUI AYAT ALLAH INI TIADA YANG MENUNJUKKAN TANDA2 MENGHALALKAN MUTA'AH DAN PASTINYA TIADA MUTA'AH YG DIHALALKAN DR SUDUT PANDANGAN ALQURAN YA'NI FIRMAN ALLAH,JADI TIDAK TIMBUL MANA2 SUNNI YANG SUDI MENASAKH AYAT YG SEMEMANGNYA TIADA MAKSUD YG MENYATAKAN PENGHALALAN MUTA'AH...LIHAT 3. PERBEZAAN TAFSIRAN ANTARA SYIAH DAN SUNNI

    GOLONGAN SYIAH::

    Golongan Syiah menafsirkan ayat di atas [ khususnya daripada "famastamta'tum bihi ... hingga ... faridhotan ] sebagaimana berikut::

    ( Menurut Syiah) Maka wanita-wanita yang telah kamu istimta’ dengan mereka, berikanlah kepada mereka upah mereka sebagai suatu kewajiban”.

    Menurut golongan Syiah, kita boleh istimta’ (iaitu bersenang-senang) dengan wanita asalkan dibayar upahnya, dan istimta’ itu ialah mut’ah menurut mereka.

    GOLONGAN SUNNI atau AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

    Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, ringkasnya Sunni atau ASWJ, berpegang bahawa nikah mut’ah itu sama hukumnya adalah, terlarang lagi haram.

    Erti ayat ke-24 Surah An-Nisa’ di atas bukanlah menghalalkan mut’ah, tetapi ayat yang berkaitan dengan soal nikah. Erti yang sebenar dari frasa ayat mulai dari “famastamta’tum bihi … hingga … faridhotan” itu ialah::

    “Kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah menjadi isteri kamu), maka berikanlah kepada mereka mas kahwinnya (dengan sempurna), sebagai suatu ketetapan (yang diwajibkan oleh Allah).“

    “Ujur” dalam ayat itu bukan bermaksud “upah” tetapi bererti “mahar” atau “mas kahwin“. Ini jelas diterangkan oleh ayat selepasnya iaitu ayat 25 Surah An-Nisa’::

    ﴿ وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مِّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلاَ مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَن تَصْبِرُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴾

    Ertinya::

    Dan sesiapa di antara kamu yang tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk berkahwin dengan perempuan-perempuan baik-baik (yang merdeka, yang terpelihara kehormatannya) lagi beriman, maka bolehlah kamu berkahwin dengan perempuan-perempuan hamba yang beriman yang kamu miliki.Dan Allah lebih mengetahui akan iman kamu; kamu masing-masing (suami yang merdeka dan isteri dari hamba sahaya itu) adalah berasal sama (dari Adam, dan seagama pula).Oleh itu berkahwinlah dengan mereka dengan izin walinya, serta berikanlah mas kahwinnya menurut yang patut.

    Mereka (hamba-hamba perempuan yang akan dijadikan isteri hendaklah) yang sopan bukan perempuan-perempuan lacur dan bukan pula yang mengambil lelaki sebagai teman simpanan.

    Kemudian setelah mereka (perempuan hamba sahaya itu) berkahwin, lalu mereka melakukan perbuatan keji (zina), maka mereka dikenakan separuh dari (hukuman) siksa yang ditetapkan kepada perempuan-perempuan yang merdeka.

    ( Hukum perkahwinan ) yang demikian (yang membolehkan seseorang berkahwin dengan perempuan-perempuan hamba sahaya) itu ialah bagi orang-orang yang bimbang melakukan zina di antara kamu; dan sabarnya kamu (tidak berkahwin dengan perempuan hamba) itu adalah lebih baik bagi kamu.

    Dan (ingatlah) Allah amat pengampun, lagi amat mengasihani.

    Frasa ayat “fankihu hunna bi izni … hingga … bil ma’ruf” di atas jelas menyatakan::

    Oleh itu berkahwinlah dengan mereka dengan izin walinya, serta berikanlah mas kahwinnya menurut yang patut.

    Di sinilah letaknya kesalahan golongan Syiah yang mana mereka menghalalkan yang haram kerana tersalah dalam menafsirkan erti “ujur” sebagaimana yang diterangkan sendiri oleh ayat yang lain (iaitu ayat 25 di atas, iaitu maskahwin).
    Sokongan ayat perlunya perkahwinan yang diredhai oleh Allah :====>وَاللّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

    Allah telah menjadikan jodoh utk kamu dari jenismu sendiri, & Ia menjadikan utk kamu dari perjodohanmu itu anak-anak & cucu. (Al Qur’an Surat: An-Nahl: 72) SOKONGAN HADITH===> Ali bin Abi Thalbi sendiri telah mengharamkan nikah Mut’ah. Dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan menikah mut? ah dgn wanita pd perang Khaibar & makan himar ahliyah. (Hadis Riwayat: Bukhari & Muslim).