Monday, January 27, 2014
Monday, January 20, 2014
Wednesday, January 8, 2014
Manado, Semoga Menjadi Pelajaran Bagi Minangkabau
Manado, Semoga Menjadi Pelajaran Bagi Minangkabau: KA SURAU - Beberapa hari yang silam kami membaca tiga rangkai postingan pada salah stu grup di fa...
Wacana Anti-Tasawwuf diantara Ulama Reformis Salafi: Realita atau Imajinasi
Wacana Anti-Tasawwuf diantara Ulama Reformis Salafi: Realita atau Imajinasi
Posted on Januari 5, 2014 by Abu Ali Ady C. Effendy
Dunia Islam saat ini sedang menghadapi tantangan dari dalam
(internal) dan luar (eksternal). Tantangan eksternal berupa pandangan
hidup materialistik yang telah menyerang setiap jengkal tanah dari
negeri-negeri Muslim. Filsafat Barat dalam bentuk materialisme dan
sekularisme tidak menyisakan seorang pun kecuali mesti terpapar kepada
pengaruh-pengaruhnya. Beberapa Muslim benar-benar telah berlangganan dan
bahkan mengasong filsafat materialistik sekuler ini. Sebagian Muslim
lainnya telah dibentuk oleh filsafat materialistik sekuler ini tanpa
sedikitpun menyadarinya. Namun, masih ada sebagian kecil mereka yang
menyadari pukulan telak ke jantung dunia Muslim ini dan berusaha untuk
menyembuhkan pukulan yang menghancurkan tersebut dengan menata kesadaran
dan menyembuhkan penyakit hati Muslim melalui ilmu tazkiyatunnafs atau tasawwuf.
Namun demikian, perjuangan ini dihadapkan pada
tantangan internal yang timbul dari dalam dunia Islam itu sendiri. Salah
satu tantangan internal utama bagi umat Islam adalah munculnya wacana
anti-tasawuf yang disebarkan oleh para pengikut Salafi. Wacana
anti-tasawwuf yang timbul tersebut mendapatkan pembenaran dari klaim
tentang kecenderungan anti-tasawwuf dari para pemimpin Salafi, dengan
slogan mereka kembali ke Quran dan Sunnah yang murni, dan kisah yang
diungkit berulang kali tentang periode “kelam” sejarah tasawuf yang
tercemar oleh perkataan sesat Sufi yang memuncak pada hukuman mati atas
al Hallaj, seorang sufi yang sangat kontroversial di Baghdad. Kedua
tantangan internal dan eksternal yang dihadapi dunia Islam tersebut
telah memberi kontribusi pada munculnya fenomena disebut oleh Naquib
al-Attas, salah satu filsuf Muslim termuka masa kini, sebagai hilangnya
disiplin (hilangnya adab) yang telah merusak pembentukan kepribadian
Muslim yang ideal.
Dalam upaya untuk mengatasi tantangan internal yang timbul
pada dunia Islam, tulisan ini mencoba untuk menyajikan perspektif baru
tentang wacana anti-tasawuf oleh pengikut Salafiyah. Tulisan ini
berusaha untuk menunjukkan bagaimana wacana anti-tasawuf yang
disandarkan kepada pemuka Salafi yang ternama, seperti Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab, Sheikh Ibnu Taimiyyah, Syekh Muhammad Abduh, dan
lain-lain, sebenarnya bukanlah sebuah penolakan mutlak terhadap tasawuf.
Sebaliknya, pendapat yang terkesan dipahami sebagai sikap anti-tasawuf
oleh para pemuka reformis Salafi ini dipicu oleh perilaku sebagian sufi
yang dianggap melanggar Syariah dan mengarah kepada bidah yang tidak
dapat diterima ( bid’ah dholalah). Reformasi itu sendiri dijalankan
dalam rangka untuk menghidupkan kembali kondisi sosial politik umat
Islam masa itu yang dipengaruhi secara negatif oleh praktek-praktek
tidak Islami oleh sebagian pengikut Sufi. Untuk membuktikan hal ini,
tulisan ini memaparkan pendapat dari para ulama Salafi generasi pertama
Makalah ini disusun menjadi empat bagian. Bagian pertama
membahas pertemuan historis antara tradisi Sunni yang turun temurun dan
wacana Salafi yang timbul pada kurun sejarah tersebut, bagian kedua
membahas alasan pembenaran yang dibuat oleh para pendukung Salafi untuk
melarang ajaran tasawuf dari masyarakat Muslim umumnya, bagian ketiga
berusaha untuk menjelaskan ajaran sebenarnya dari pemuka Salafi, dan
diskusi ditutup dengan kesimpulan.
A. Sejarah pertemuan antara ajaran Tasawwuf dan ajaran Salafiyah
Selama berabad-abad, umat Islam telah mengikuti tradisi
Sunni yang terutama dicirikan oleh penerimaan empat sekolah hukum
(madzhab) terkemuka yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Walaupun madzhab Islam sesungguhnya tidak terbatas pada empat madzhab
ini saja, tetapi mereka dianggap sebagai madzhab yang paling populer dan
memiliki metodologi hukum yang mapan. Muslim dan para ulama mereka,
pada umumnya, juga menerima ilmu tasawuf sebagai salah satu cabang dari
ilmu-ilmu Islam tradisional meskipun adanya ketidaksetujuan mereka
secara umum terhadap aliran Sufi ekstrim sebagaimana yang diwakili oleh
al- Hallaj. Selama abad ke-13, dunia Islam dengan ibukotanya Baghdad,
telah jatuh terpuruk dari dominasinya selama berabad-abad menjadi mangsa
dari invasi bangsa Mongol. Salah satu ulama terkemuka pada waktu itu,
Taqyuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim, yang dikenal lebih
sebagai Syekhul Islam Ibn Taimiyya, memulai upayanya untuk membangkitkan
kembali semangat orang-orang Muslim dengan menyeru mereka untuk kembali
kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi yang murni. Dikabarkan bahwa
beliau sangat menentang dan menyerang segala macam bid’ah yang dilakukan
oleh umat Islam pada saat itu, sebagian besar adalah para pengikut
Sufi. Dia menyalahkan semua praktek mereka yang tidak memiliki pondasi
yang kuat didalam sumber-sumber Islam yang murni sebagai sebab dibalik
kemunduran Muslim pada masa itu. Sebaliknya, ia menyeru kaum muslim
untuk kembali mengikuti jalan yang assalafus sholeh terdahulu dalam
rangka untuk mendapatkan kembali kemuliaan mereka.
Kemudian hari pada abad ke-18, Syekh Muhammad ibn Abd
al-Wahhab, yang terlahir di kota Uyaynah di provinsi Arabia yaitu Nejd,
menghidupkan kembali panggilan untuk mengikuti jejak salafus sholeh
terutama dengan mengajak orang-orang Muslim untuk menghindari berbagai
macam bidah yang mengarah kepada perbuatan syirik dan menyerukan
tegaknya tauhid sebagai prinsip utama yang harus dijaga baik dalam
segala tindakan dan ibadah umat Islam. Para pengikutnya telah sangat
dikenal karena ketaatan mereka kepada prinsip ini dan sementara pada
saat yang sama menunjukkan penolakan yang kuat terhadap segala macam
tindakan yang akan melanggar prinsip tersebut baik secara langsung
maupun tidak langsung. Mereka memandang semua jenis kemunduran sosial
politik yang melanda umat Islam, seperti tirani, korupsi, penindasan,
ketidakadilan, dll terutama disebabkan oleh kegagalan untuk mematuhi dan
menjaga prinsip tauhid dalam hidup mereka. Satu-satunya solusi, menurut
Syekh Muhammad ibn Abd al-Wahhab, bagi kemunduran sosial politik yang
melanda dunia Islam adalah dengan mereformasi dan menyelaraskan praktik
Muslim masa kini dengan praktek-praktek Muslim yang terdahulu (al salaf
alsholihun) yang ditandai dengan dedikasi yang kuat terhadap prinsip
tauhid.
Seruan untuk kembali kepada jejak salaf al sholih tidak
berhenti pada seruan Syekh Muhammad Bin Abdil Wahhab. Pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20, Muhammad Abduh ( 1849-1905), seorang ulama
reformis Mesir yang terkenal, mulai mereformasi praktek sufi Muslim agar
sesuai dengan contoh generasi Muslim yang awal. Beliau mengkritik keras
praktek kaum Sufi masanya yang memperkenalkan bid’ah dholalah ke dalam
masyarakat Mesir dan menyebabkan masalah sosial bagi umat Islam. Salah
satu kritik kerasnya diarahkan kepada praktek Sufi yang berlebihan oleh
tarekat Sufi Sa’diyya, cabang tarekat Rifa’iyya, yang mempraktekkan
pemukulan gendang di masjid-masjid, berdzikir secara keras, dan
membiarkan campur aduknya kaum pria dan wanita di dalam masjid. Diantara
kritik keras Syekh Muhammad Abduh yang lain ditujukan terhadap praktek
merayakan hari kelahiran Sayyid Husain ra. dengan menanggalkan pakaian
dan berjalan di atas api dalam keadaan tidak sadar dihadapan khalayak
ramai.
Karya Abduh, Risalat al-Tauhid menegaskan pembelaannya yang
kuat terhadap prinsip tauhid. Tidak berhenti di tahap ini, lebih lanjut
Abduh menggabungkan pandangan Tawhidnya dengan kecenderungan
modernisasi Barat yang kuat. Syekh Abduh menyebarkan gagasan Islam
sebagai agama logis dan mendukung kemajuan serta kompatibel dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan oleh karenanya dianggap sangat relevan
dengan dunia modern saat ini.
Ketiga ulama reformis ini mengusung gagasan Salafiyah, yang
bisa diartikan sebagai “sebuah aliran pembaharuan Islam yang bertujuan
untuk menghidupkan kembali agama Islam dengan cara kembali kepada jejak
tradisi yang dijalankan oleh orang-orang saleh terdahulu (alsalaf
alsholih).”
Sekilas sejarah diatas menunjukkan kepada kita
bagaimana ketiga ulama Salafi reformis tersebut berupaya untuk
menghidupkan kembali kaum Muslimin dari kemundurannya melalui seruan
untuk kembali kepada praktek al salaf salihun, sementara pada
saat yang sama mencela praktik bidah yang tidak dapat diterima oleh
beberapa pengikut Sufi ekstrim. Ketiga ulama ini berbagi kecenderungan
yang sama yakni pemuliaan generasi awal Muslim (al salaf), tapi pada
saat yang sama ketiganya cukup berbeda dalam upaya pemurnian mereka. Dua
ulama yang disebut pertama bersandar pada penafsiran yang lebih
mendasar terhadap dua sumber utama, Al-Quran dan Al-Sunnah, dan
mengikuti tafsir terdahulu oleh para sahabat ra. Abduh, di sisi lain,
lebih condong kepada tafsir yang rasionalis, perspektif modernis dan
mencoba untuk menyelaraskan pandangan teologisnya dengan perspektif ini.
Dengan demikian, wacana Salafi Abduh cukup terlepas tidak hanya dari
tradisi yang berabad-abad bahkan juga terkadang terlepas dari penafsiran
awal. Hal ini membedakan pengungkapan salafiyah ala Syekh Abduh dengan
salafiyah yang diwakili oleh Syekh Muhammad bin Abd al Wahhab. Dua
aliran ini, bagaimanapun, bertemu dalam kritik mereka terhadap
praktek-praktek sufi tertentu.
Kecenderungan untuk mereformasi praktek tasawuf telah
menyebabkan para ulama reformis ini menjadi ulama yang cukup
kontroversial dalam artian bahwa perjuangan mereka telah diterima oleh
para pengikut fanatik mereka dan dan pada saat yang sama ditolak oleh
para lawan fanatik mereka. Respon yang terkutubisasi terhadap perjuangan
reformasi mereka bukanlah sesuatu yang sukar dijumpai diantara
orang-orang awam sekalipun. Untuk memahami upaya ini reformasi ini
secara proporsional, bagaimanapun, kita harus mencoba untuk menyelidiki
secara komprehensif latar belakang dari para ulama reformis ini serta
karya-karya mereka secara keseluruhan sebelum datang kepada kesimpulan
tentang orientasi keilmuan mereka. Hal inilah yang seringkali gagal
dilakukan oleh orang umumnya karena selalu terjebak dalam kesimpulan
dini bahkan sebelum usaha dalam memverifikasi informasi.
B. Sufi – Salafi : Sebuah Agenda Saling Mengutuk ?
Sengketa sufi – salafi bukanlah sesuatu yang asing.
Beberapa perselisihan keagamaan yang diliput media secara luas di era
kontemporer saat ini menyoroti konflik antara dua aliran muslim sunni
ini. Peledakan kuil sufi di Pakistan, Mali, dan Libya yang dituduhkan
kepada kelompok Salafi garis keras adalah termasuk diantara beberapa
sengketa masa kontemporer ini. Membangun keyakinan mereka pada pemahaman
yang sempit terhadap ajaran ulama Salafi reformis, kelompok Salafi
garis keras tampaknya siap untuk menggunakan bahkan cara yang paling
mematikan untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka dengan setiap
peninggalan Sufi serta praktek-prakteknya. Para pengikut Salafi ekstrim
mengutuk para pengunjung ke kuil peninggalan orang-orang suci dan upaya
mereka untuk mendapatkan berkah sebagai sesuatu yang menyebabkan
kemusyrikan atau kemurtadan yang boleh untuk dibunuh. Dalam tindakan
pembantaian ini, Salafi garis keras sepenuhnya mengabaikan interpretasi
lain dan secara sederhana mengutuk praktik sufi secara keseluruhan.
Para pengikut Salafi ekstrim mengungkapkan segala macam
kebohongan sufi dan kemudian berdasarkan hal itu menolak sama sekali
gagasan mengenai tasawuf. Menurut mereka, tidak ada kebenaran atau
kebaikan sama sekali yang melekat dalam tasawuf. Semua tentang tasawuf
adalah sesat dan benar-benar bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa
tulisan yang berisi tuduhan terhadap orang-orang sufi dan tasawuf
diantaranya adalah bahwa orang-orang Sufi membolehkan ibu dan adik untuk
menikah, Ibn Arabi menyatakan bahwa Tuhan itu berwujud dalam bentuk
wanita, Tilmisani dituduh mengatakan bahwa Quran adalah syirik, Ibnu
Farid dituduh untuk menyebarkan gagasan Ittihad atau wihdatul wujud dan
bahwa ia mengaku sebagai Tuhan, Ibn Arabi dituduh memperbolehkan ibadah
kepada berhala, al Gazali dituduh mempercayai wihdatul wujud dan
memuji al Hallaj, orang sufi dituduh mengatakan bahwa Muhammad adalah
Allah, mereka juga dituduh mengatakan bahwa semuanya berasal dari nur
Muhammad, orang sufi juga dilaporkan untuk menyebarkan penyatuan
agama-agama, mereka juga dituduh mempercayai selamatnya firaun dan
iblis/setan di akhirat, mereka dituduh menyembah guru-guru/syuyukh
mereka, mereka juga dituduh menyangkal akal dan syariah, dan banyak
lainnya tuduhan terburuk yang tidak mungkin ditulis semuanya disini.
Dengan memainkan semua tuduhan itu, kelompok Salafi
tampaknya cukup berhasil dalam upaya untuk mengeluarkan ajaran tasawuf
dan para pengikutnya dari batas ajaran Islam. Keberhasilan relatif dalam
menyingkirkan tasawuf ini mungkin dapat dikaitkan dengan fakta bahwa
istilah-istilah dalam ilmu tasawuf cukup membingungkan bagi orang awam
yang menyebabkan mereka cenderung mengabaikannya dan mengikuti tuduhan
tentang ke-bidah-annya.
Pengikut Salafi yang fanatis tampaknya sengaja
mengabaikan fakta bahwa kaum Sufi bukanlah satu kelompok saja dengan
penafsiran dan praktek tasawuf yang seragam. Faktanya, ada kelompok Sufi
yang menyerukan pentingnya mendasarkan praktek tasawuf mereka
berdasarkan alQuran dan alSunnah dan menolak praktik populer dalam sufi
umumnya. Kelompok ini juga menolak ajaran Ibnu Arabi, menekankan studi
ilmu Hadis, menolak taqlid dan menyerukan ijtihad. Hal ini
sedikit banyak telah menunjukkan bahwa praktek tasawuf tidak selalu
bertentangan dengan alQuran dan Sunnah sebagaimana tuduhan para pengikut
Salafi fanatic yang cenderung mengeneralisir. Bahkan, sebagian besar
kaum Sufi menegaskan kewajiban untuk mematuhi Quran dan Sunnah dalam
praktek spiritual sebagaimana yang selalu diserukan gerakan Salafi.
Meskipun memperlihatkan permusuhan yang tidak terlalu
radikal terhadap pendukung Salafi, pengikut Sufi juga tidak sepenuhnya
terbebas dari fanatisme diri dan kelompok. Hal ini bisa diperhatikan
dari penolakan mereka terhadap segala jenis perubahan yang diarahkan
kepada beberapa praktek tasawuf yang tidak dapat diterima (bid’ah)
yang dilakukan oleh aliran sufi yang menyimpang. Pada saat yang sama,
pengikut Sufi cenderung memandang orang-orang yang disebut Salafi
sebagai musuh hakiki bagi segala praktek tasawuf mereka, dan dengan
demikian, segala kritik mereka tidak dapat diterima dan harus ditolak
sama sekali. Sikap antipati terhadap para ulama reformis Salafi ini
sebagian besar disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan tentang latar
belakang dan tujuan mereka. Jika diamati dengan seksama tulisan-tulisan
para ulama Salafi reformis atau sejarah hidup mereka, kita akan
menemukan bagaimana para ulama Salafi juga termasuk di antara para ulama
tasawuf atau setidaknya dalam perbaikan/ reformasi mereka tidaklah
bertujuan untuk membatalkan sama sekali ajaran tasawuf. Sebaliknya,
reformasi mereka hanya diarahkan untuk segala inovasi yang tidak dapat
diterima ( bid’ah ) oleh pengikut Sufi yang melanggar garis yang baku
dalam syariat Islam.
Penentangan yang kuat dari sebagian besar pengikut Sufi
fanatis terhadap ulama Salafi reformis berakar dari kurangnya informasi
tentang sejarah hidup atau biografi para ulama reformis ini serta
catatan tentang pandangan mereka tentang tasawuf. Kebanyakan pengikut
tasawuf cenderung memandang bahwa apa yang disampaikan oleh Salafi
pengikut fanatik tentang tasawuf merupakan bukti yang mewakili pandangan
para ulama Salafi terkemuka. Penelitian yang lebih mendalam terhadap
pandangan para ulama Salafi menunjukkan bahwa hal ini tidak benar.
C. Catatan Objektif mengenai Pandangan Para Imam Salafi tentang Tasawuf
Dalam rangka untuk mendapatkan sejarah yang adil mengenai
para ulama Salafi reformis, kita harus kembali mengkaji sejarah hidup
atau biografi mereka secara komprehensif serta meneliti tulisan-tulisan
mereka dalam cara intensif. Kurangnya pengetahuan pengikut Sufi secara
umum terhadap tulisan dan biografi para ulama Salafi reformis ini telah
menghalangi pengetahuan yang objektif mengenai para ulama Salafi
reformis.
Untuk membuktikan ‘fitrah’ tasawwuf dalam diri para ulama
Salafi reformis, tulisan ini mencoba untuk menyajikan beberapa tulisan
atau perkataan para ulama Salafi yang kurang diketahui di kalangan
pengikut Sufi. Abdul Hafiz Al Makki yang hidup sezaman dengan kita telah
menyusun sebuah buku yang cukup penting berjudul Mawqif Aimmah Al Harakah Al Salafiyyah Min Al Tasawwuf Wa Al Shufiya
(Pendapat Para Imam Gerakan Salafi Tentang Tasawuf Dan Kaum Sufi ) yang
merangkum semua tulisan ulama Salafi reformis yang paling masyhur.
Mengenai Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, Al Makki menulis
bahwa pada suatu kesempatan Universitas Islam Imam Ibnu Suud di Riyadh
mengadakan acara “Pekan Sheikh Muhammad ibn Abd al Wahhab” di mana
universitas ini menyebarluaskan semua tulisannya. Setelah dia membaca
intensif, ia mendapati bahwa tidak ada satupun tulisan-tulisan Sheikh
Ibnu Abdil Wahhab yang menyatakan penyangkalannya terhadap tasawuf atau
terhadap pemuka Sufi. Beberapa tulisannya bahkan menunjukkan
kesepakatannya dengan tasawuf atau ilm al suluk, sebagai berikut :
“اعلم رحمك الله أن أربع هذه الكلمات مع اختصارهن يدور
عليها الدين سواء كان المتكلم يتكلم في علم التفسير أو في علم الأصول أو في
علم أعمال القلوب الذي يسمى علم السلك أو في علم الحديث أو في علم الحلال
والحرام والأحكام الذي يسمى علم الفقه أو في علم الوعد والوعيد أو في غير
ذلك من أنواع علوم الدين… الخ.”
” Ketahuilah wahai…. Allah merahmatimu… bahwa ada empat
kata yang meskipun singkat akan tetapi merupakan titik pijak bagi agama
ini, diantaranya adalah pembahasan dalam ilmu penafsiran atau dalam ilmu
prinsip ( ushul ) atau dalam ilmu hati yang disebut ilmu suluk atau ilmu hadits atau dalam ilmu halal dan haram, dan ilmu hukum yang disebut ilmu fikih atau ilmu tentang pahala dan azab (wa’d dan wa’ed) atau ilmu-ilmu agama lainnya, dll).
(ومعلوم أن الأمة مأمورة بتبليغ القرآن لفظه ومعناه وتبليغه لغير العرب بالترجمة…..فأخبر عنهم بكمال بر القلوب مع كمال عمق العلم, وهذا قليل في المتأخرين كما يقال : من العجائب: فقيه صوفي وعالم زاهد).
Sudah dimaklumi bahwa umat ini diperintahkan untuk
menyebarkan Alquran baik secara kata ataupun makna, serta menyebarkannya
ke bangsa non-Arab dengan cara penerjemahan……….
Sehingga ia harus memberitahu mereka tentang kesempurnaan perbuatan baik dengan hati dengan kesempurnaan ilmu yang mendalam, dan dua hal ini sangatlah langka pada akhir zaman, seperti yang mereka katakan: sangatlah indah : seorang ahli hukum (faqih) yang merupakan Sufi dan alim yang zuhud.
Mengenai Syaikhul Islam Ibn Taimiyya, al Makki menyajikan beberapa
bukti mengenai fitrah Sufi dari beliau. Bukti pertama, menurut al Makki,
dapat melihat dari tulisan muridnya, yaitu Ibn al Qayyim al Jawziyyah,
mengenai akhlaq gurunya, perasaannya (adzwaq), kebiasaannya ( adat ), keadaan ruhaninya ( ahwal
) dan perbuatan pada berbagai kesempatan yang menunjukkan dengan jelas
bahwa Ibnu Taimiyya harus dipandang sebagai salah seorang ‘arif billah.Sehingga ia harus memberitahu mereka tentang kesempurnaan perbuatan baik dengan hati dengan kesempurnaan ilmu yang mendalam, dan dua hal ini sangatlah langka pada akhir zaman, seperti yang mereka katakan: sangatlah indah : seorang ahli hukum (faqih) yang merupakan Sufi dan alim yang zuhud.
Bukti kedua, al Makki mengutip dari penelitian yang
dilakukan oleh Dr Ahmed bin Mohammed Banani berjudul “Pandangan Imam
Ibnu Taimiyya tentang tasawuf dan shufiyah” yang diterbitkan oleh
Universitas Ummul Quro yang membuktikan bahwa Ibn Taimiyya tidak menolak
tasawwuf secara mutlak, tetapi hanya menolak praktek-praktek yang tidak
didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah serta perkataan atau ucapan sahabat
Nabi saw. Peneliti Barat, semisal Henry Laoust dan George Makdisi, juga
sudah menegaskan latar belakang tasawuf dari Syaikh Ibnu Taimiyya dan
asal usulnya yang kuat didalam Tarekat Qadiriya. Kedua peneliti
menunjukkan bahwa Ibn Taimiyya sebenarnya adalah salah satu Sufi yang
tertinggi didalam Tarekat Qadiriya. Ibnu Taimiyya juga dikabarkan sangat
menghormati Syekh Abdul Qadir al Jilani dalam tulisan-tulisannya, yang
dianggap beliau memiliki tingkat ruhaniah yang tinggi seperti Imam Ahmad
bin Hanbal.
Ketiga, tulisannya sendiri untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya mengenai realita tasawuf. Ia dikutip menulis didalam
bukunya bahwa seorang sufi adalah seorang shiddiq yang mengabdikan dirinya untuk kezuhudan dan ibadah. Dengan demikian, ia menganggap sufi tidak lain adalah istilah untuk kata shiddiqin yang berada di bawah tingkatan para nabi dan rasul saw. (lihat Majmu Fatawa Juz 11 Hal 17)
Hal yang tidak berbeda juga kita dapati pada ulama pembela
Salafiyah Syekh Muhammad Abduh. Awal mulanya beliau belajar secara
pribadi di rumahnya dan kemudian pada usia sepuluh tahun, masuk sekolah
setempat. Ketika ia hafal Al-Quran pada usia ini, orang tuanya mengirim
dia ke Tanta untuk melanjutkan studinya. Selama dua tahun belajar di
Tanta, Abduh mulai merasakan kurangnya metode pengajaran yang banyak
berkutat dengan tata bahasa Arab dan fikih Islam saja. Para siswa
benar-benar dipusingkan dalam kelas di mana mereka dikenalkan dengan
istilah-istilah teknis dalam kitab-kitab klasik nahwu dan fikih. Tidak
ada jawaban yang diberikan atas pertanyaan mereka begitupun tidak ada
upaya yang dilakukan untuk menyesuaikan level pelajaran dengan kemampuan
rasional para pelajar muda ini. Satu-satunya cara untuk lulus ujian
adalah dengan menghafal seluruh buku tanpa pemahaman sedikit pun
terhadapnya. Abduh mengalami krisis spiritual dan intelektual pada usia
dini ini.
Pada waktu inilah, ia merasa bahwa ia tidak punya bakat
dalam studi agama dan melarikan diri kembali ke rumahnya. Ayahnya
memaksa dia lagi dan kali ini ia melarikan diri ke desa lain di mana ia
bertemu paman dari sisi ayahnya Sheikh Darwish al-Khadir, seorang syekh
sufi. Pertemuan dengan pamannya ini memperkenalkannya kepada gagasan
tasawuf melalui surat-surat tasawuf yang ditulis oleh Guru Sufi
pamannya. Meskipun pada awalnya ia menolak untuk membaca surat-surat,
ketika ia akhirnya membaca dan mendiskusikannya dengan pamannya, ia
merasa bahwa tasawuf benar-benar menawarkan cara alternatif dalam
beragama dibandingkan cara belajar Islam tradisional yang mengganggunya
sebelumnya. Minatnya dalam tasawuf yang dikenalkan oleh pamannya,
bagaimanapun, adalah tidak seperti dongeng Sufi tradisional atau penipu
yang yang tersebar luas pada waktu itu di Mesir pedesaan. Bahkan, dia
bersikeras memperkenalkan pamannya sebagai sufi sunni yang benar-benar
bertentangan dengan penemuan sufi ahli bid’ah yang tidak didasarkan pada
Al-Quran dan Sunnah.
KESIMPULAN
Berdasarkan diskusi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa wacana
anti – tasawuf yang berlaku saat ini adalah pada kenyataannya dirumuskan
oleh beberapa pengikut fanatis Salafi dan diterima secara negatif oleh
beberapa pengikut sufi fanatik untuk memulai serangan balik pada
Salafiyah dan pemimpinnya. Fanatisme pengikut Salafi terhadap slogan
idealis untuk ” kembali ke Al-Quran dan Sunnah ” telah mendorong mereka
untuk mengabaikan sepenuhnya gagasan tentang tasawuf, serta menuduh dan
mengutuknya sebagai sesuatu dibuat-buat terhadap ajaran Islam yang
benar.
Dalam mendukung ‘agenda’ mereka, mereka bahkan sengaja
mengabaikan fakta bahwa para pemimpin Salafi tidak secara mutlak menolak
tasawuf sama sekali. Penolakan yang radikal terhadap gagasan tasawuf
itu sendiri digunakan untuk memulai pukulan yang menghancurkan terhadap
seluruh bentuk tasawuf tanpa pengecualian. Ini meskipun fakta bahwa di
antara kaum Sufi, ada kelompok-kelompok yang memiliki kecenderungan
mereformasi praktek-praktek Sufi itu sendiri.
Pengikut Sufi, pada gilirannya, menyerang agenda pemurnian
ala Salafi dan mengutuknya sebagai benar-benar sikap anti-tasawuf dan
anti-tradisi. Dengan ini, mereka terperangkap dalam ‘permainan mengutuk’
dengan pengikut Salafi. Mereka tidak menyadari bahwa dalam lingkaran
kaum Sufi sendiri terdapat seruan untuk menyelaraskan praktik spiritual
dalam tarekat dengan Al-Quran dan Sunnah, yang persis sebagaimana seruan
yang dilakukan oleh para ulama reformis Salafi. Fenomena ini telah
menyebabkan terbuangnya sebagian besar energi umat Islam dalam konflik
tidak produktif pada saat dimana seharusnya umat Islam bersatu. Tulisan
ini bertujuan untuk menyajikan perspektif lain tentang wacana anti –
tasawuf yang ditelan mentah-mentah dan dipercaya oleh pengikut fanatik
Salafi serta pendukung fanatik sufi. Berdasarkan diskusi ini, dapat
disimpulkan bahwa wacana anti – tasawuf oleh para ulama Salafi
dibuat-buat oleh pengikut fanatik Salafi dan diambil secara bulat-bulat
oleh para pengikut Sufi fanatik. Sementara faktanya, wacana para imam
Salafi reformis sebenarnya ditujukan untuk memurnikan praktik sufi dari
bid’ah, dengan menyelaraskan kembali praktek-praktek mereka dengan
Al-Quran dan Sunnah, dan tidak dimaksudkan untuk sepenuhnya melarang
praktek tasawuf itu sendiri. Wallahu a’lam bisshowab
Sumber:
Al Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993.
Al Makki, Abd al Hafidh ibn Malik Abd al Haq, Mawqif al aimmah al harakah al salafiyah min al tasawwuf wal shufiyah (Riyadh: Dar el Salam, 2001)
El Wakeel, Abd el-Rahman. Hadzihi Hiya Shufiyah. Beirut: Dar el Kutub el Ilmiyya, 1984.
Fatawa Kibar Ulama al Azhar al Sharif fee Inhirafat al Thuruq al Shufiya. Cairo: Dar el Yousr, 2011.
Scharbrodt, Oliver, The Salafiyya and Sufism: Muhammad Abduh and his Risalat al-Waridat (Treatise on Mystical Inspiration) in
Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of
London, Vol. 70, No. 1 (2007), p 89-115 (London: Cambridge University
Press, 2007)
Subscribe to:
Posts (Atom)