Monday, December 3, 2012

Penghianatan Org Kufah teh Syaidinaa HUSSAIN ra.

Sejarah Pengkhianatan Orang Kufah

November 18, 2012
Sumber: hauzahmaya.com
Tanya: Mengapa orang-orang Kufah yang sebelumnya dengan penuh semangat memberikan dukungan kepada Imam Husain as. akhirnya justru memerangi beliau?
Jawab: pertanyaan ini akan kita dapatkan dengan menjawab dua pertanyaan lain di bawah ini:
  1. Motif apa yang mendorong penduduk Kufah sehingga mereka menulis surat sebanyak-banyaknya untuk Imam Husain as.?
  2. Bagaimana cara Ubaidillah bin Ziyad memadamkan api yang bergolak di Kufah?
Pertama, perlu kita ketahui bahwa pertama kalinya para penduduk Kufah menulis surat untuk Imam Husain as. adalah saat beliau bermukim di Makkah (10 Ramadhan 60 H.).[1] Jumlah surat yang mereka kirim sangat luar biasa banyak. Sungguh mencengangkan, diperkirakan, setiap harinya ada enam ratus surat yang sampai ke tangan Imam Husain as. dan jumlah surat secara keseluruhan mencapai angka dua belas ribu.[2] Dengan memperhatikan para pengirim surat yang dapat diketahui dari nama-nama dan tanda tangan yang tercantum di akhir surat mereka, dapat disimpulkan bahwa mereka bukanlah dari satu kelompok yang sama; para penulis surat terdiri dari berbagai macam orang dan berbagai kelompok dengan maksud yang berbeda-beda. Sebagai contoh, beberapa orang yang menulis surat-surat tersebut adalah tokoh Syi’ah istimewa seperti Sulaiman bin Shard Khaza’i, Musayyab bin Najbah Khazari, Rufa’ah bin Syidad, Habib bin Mazahir dan lain sebagainya.[3]
Itu satu kelompok. Kelompok yang lain yang nama-namanya tertera dalam surat-surat tersebut justru malah para pendukung Umayah. Misalnya Sabts bin Rab’i yang pernah membangun sebuah masjid sepeninggal Imam Husain as. sebagai rasa syukur atas terbunuhnya beliau;[4] Hajjar bin Abjar, orang yang menjadi salah satu pasukan Umar bin Sa’ad dan pada hari Asyura ia mengingkari bahwa ia pernah menulis surat untuk Imam Husain as.;[5] Yazid bin Harits bin Yazid, yang juga mengingkari bahwa dirinya pernah menulis surat untuk Al Husain as.;[6] Azrah bin Qais, komandan pasukan berkuda Umar bin Sa’ad;[7] Amr bin Hajjaj Zubaidi, komandan pasukan penjaga sungai Furat yang bertugas mencegah rombongan sahabat Imam Husain as. mendapatkan air dari sungai tersebut.[8] Sungguh menakjubkan, sebagian surat yang di dalamnya terdapat semangat yang berkobar, memberi dukungan kepada Imam Husain as. dan mengaku bahwa telah siap bala tentara yang akan membantunya, justru orang-orang seperti ini.
Kelompok yang lain lagi yang mana nama-nama mereka tidak tertulis, kemungkinan besar adalah orang-orang awam yang hanya memahami keuntungan materi dan suka mengikuti arah angin.
Mereka orang yang tidak tahu apa-apa dan sebenarnya tidak berarti. Mereka bagaikan gelombang besar yang kuat yang jika ada penakhluk gelombang lihai mengarahkan mereka untuk kepentingan-kepentingan tertentu, maka gelombang tersebut akan memberikan banyak keuntungan bagi mereka.
Kemungkinan besar kebanyakan dari delapan belas orang yang memberikan bai’at kepada Muslim bin Aqil adalah orang-orang dari kelompok ini. Terbukti ketika merasa kepentingan duniawi mereka terancam karena siasat yang dijalankan oleh Umar bin Ziyad akhirnya mereka meninggalkan Muslim bin Aqil sendirian dan membiarkannya menggelandang di jalanan Kufah.
Maka alamiah sekali jika kita melihat orang-orang seperti mereka berada di pihak Ubaidillah bin Ziyad karena kepentingan duniawi mereka ada di situ. Mereka tidak mungkin bergabung dengan Imam Husain as. yang jumlahnya beberapa orang saja dan kemungkinan menang hanya satu per seribu. Memang mereka memiliki kecintaan terhadap Al Husain as. sebagai cucu Rasulullah saw. dan putra Ali bin Abi Thalib as., tapi mereka jugalah yang menghunuskan pedang ke arah beliau. Tentang mereka, Mujmi’ bin Abdullah ‘Aidzi berkata kepada Imam Husain as., “Kebanyakan dari mereka, hatinya bersamamu, akan tetapi kelak merekalah yang menghunuskan pedang ke arahmu.”[9]
Sebagian orang yang tidak jauh berbeda dari mereka, pada hari Asyura hanya menonton peristiwa pembantaian cucu nabi sambil menangis dan berdo’a, “Ya Allah, tolonglah Husain.”[10]
Sekarang, dengan apa yang telah kita jelaskan sekilas disini, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan para penulis surat untuk Imam Husain as. tidaklah satu. Mereka dari berbagai kalangan dan tujuan-tujuan mereka juga bermacam-macam. Tujuan-tujuan tersebut dapat disimpulkan seperti ini:
  1. Para pengikut setia Imam Husain as. seperti Habib bin Mazahir dan Muslim bin ‘Ausyajah, mengakui bahwa kepemimpinan hakiki yang sebenarnya adalah hak Ahlul Bait as. dan pemerintahan zalim yang menindas di depan mata mereka harus digulingkan. Jadi tujuan mereka dalam mengajak Imam Husain as. untuk menjadi pemimpin mereka di Kufah adalah untuk mengambil alih pemerintahan dan mendudukkan orang yang berhak di atas kursi kepemimpinan. Tapi terus terang saja orang-orang yang memiliki pola pikir seperti ini sangat terbatas sekali jumlahnya.
  2. Sebagian banyak adalah orang-orang awam, orang-orang tua yang teringat betapa makmurnya negeri mereka saat pemerintahan Alawi berkuasa lalu di sisi lain mereka melihat dengan mata kepala sendiri akan betapa zalimnya pemerintahan Umawi yang telah berdiri selama dua puluh tahun itu. Untuk melepaskan diri dari kezaliman Bani Umayah, mereka menarik pakaian cucu Rasulullah saw. dan merengek kepada beliau; dengan harapan, mungkin Imam Husain as. dapat melenyapkan pemerintahan yang zalim tersebut.
  3. Sebagian orang dari mereka yang meributkan nama baik dan kejayaan Kufah yang telah berpindah ke Syam selama dua puluh tahun memang sedang membutuhkan seseorang yang dapat menyertai mereka agar Kufah kembali menjadi seperti dulu lagi. Oleh karenanya mereka menggebu-gebu meminta Imam Husain as. bergabung dengan mereka; karena menurut mereka orang yang paling tepat di zaman itu adalah Imam Husain as. Mereka tahu bahwa Imam Husain as. memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan penduduk Kufah dan ia pun sama seperti diri mereka, yakni sama-sama tidak menganggap pemerintahan Bani Umayah sebagai pemerintahan yang sah.
  4. Sebagian yang lagi adalah pembesar-pembesar kabilah seperti Syabts bin Rab’i dan Hajjar bin Abjar. Mereka hanya memikirkan kekuasaan dan kekuatan. Ketika mereka melihat kebanyakan orang di Kufah sedang ramai-ramai memberikan dukungan kepada Imam Husain as. untuk merebut tali kekuasaan dari Bani Umayah, mereka berfikiran bahwa mungkin tidak lama lagi Imam Husain as. memang benar-benar mencapai kemenangannya dan pemerintahan yang baru akan terwujud. Oleh karena itu, agar kabilah mereka tidak tertinggal, dan supaya kelak mereka juga memiliki jabatan dalam pemerintahan tersebut, maka mereka tidak mau kalah dalam memberikan dukungan dan semangat untuk Imam Husain as. Dengan demikian mereka ikut-ikutan dalam menulis surat kepada beliau.
  5. Sebagian yang lain yang merupakan orang-orang pemburu pengisi perut yang melihat betapa maraknya penduduk Kufah menulis surat untuk cucu nabi. Mereka dengan usahanya masing-masing ikut memeriahkan keramaian.
Kedua, dengan datangnya Ibnu Ziyad ke Kufah, para pembesar kabilah dan kelompok-kelompok pendukung Bani Umayah menghela nafas panjang. Mereka berkumpul mengelilingi Ibnu Ziyad dan menceritakan permasalah-permasalah Kufah kepadanya.
Sejak awal memasuki Kufah, Ubaidillah bin Ziyad menyadari kecintaan penduduk Kufah terhadap Imam Husain as. dan dukungan mereka. Karena saat memasuki Kufah, ia memakai amamahberwarna hitam dengan wajahnya yang ia tutupi kain, lalu kebanyakan orang mengiranya sebagai Imam Husain as. dan menyambutnya dengan meriah tapi ternyata ia bukan orang yang diharapkan.[11]
Tidak disengaja Ubaidillah bin Ziyad memahami bahaya besar yang akan muncul di hadapan pemerintahan. Ia bergegas merancang taktik dan siasat sesuai dengan pengalamannya saat menjabat di Bashrah untuk meredam api yang berkobar di Kufah. Langkah-langkah Ubaidillah bin Ziyad pada waktu itu dapat kita jelaskan seperti ini:

Siasat yang Menciutkan Mental

Ibnu Ziyad telah menjalankan siasat ini sejak ia pertama kali datang ke Kufah. Siasat buruk, pemaksaan dan ancaman. Dalam pidato pertamanya di Masjid Jami’ Kufah, ia berkata bahwa dirinya bagai seorang ayah yang baik hati terhadap orang-orang yang mematuhi pemerintah; dan sebaliknya, ia tak pernah enggan menggunakan pedangnya untuk menghukum setiap pemabangkang.[12]
Salah satu langkah efektif yang dipilih oleh Ibnu Ziyad pada waktu itu adalah mendatangkan bala tentara dari Syam menuju Kufah untuk menangani setiap gerak-gerik pemberontak—seperti peristiwa pengepungan Istana Darul Imarah yang dipimpin oleh Muslim— yang mungkin timbul tiap saat.[13] Setelah peristiwa perdamaian antara Imam Hasan as. dengan Mu’awiyah, yang mana waktu itu adalah terakhir kalinya penduduk Kufah bersitegang dengan pasukan Syam, mereka mulai merasa segan terhadap pasukan Syam dan tidak memiliki rasa percaya diri jika harus berhadapan kekuatan lawan. Mereka sama sekali tidak melihat adanya kekuatan dalam diri mereka untuk melawan pasukan Syam. Hal-hal seperti ini yang menciutkan nyali penduduk Kufah dan akhirnya sedikit demi sedikit Muslim bin Aqil ditinggalkan oleh kawan-kawannya.[14]
Dengan demikian, Muslim bin Aqil yang di siang hari bersama empat ribu pengikutnya berhasil mengepung Istana Darul Imarah dan hampir menjatuhkan Ubaidillah dari atas menara, malam harinya ia ditinggalkan seorang diri dan terluntang-lantung di jalanan Kufah.[15]

Godaan yang Menggiurkan

Pada masa itu adat istiadat kehidupan sosial mereka masih khas sekali. Hal itu menyebabkan besarnya pengaruh para pembesar kabilah-kabilah dalam permasalahan sosial sehari-hari. Seperti yang telah dijelaskan, kebanyakan dari para pembesar kabilah waktu itu, seperti Syabts bin Rab’i, Amr bin Hajjaj dan Hajar bin Abjar, ikut serta dalam penulisan surat dalam mengajak Imam Husain as. agar datang ke Kufah.
Tapi yang disayangkan kebanyakan dari mereka hanya mementingkan kekuasaan dan kekuatan. Oleh sebab itu dengan kedatangan Ubaidillah bin Ziyad ke Kufah beserta ancaman-ancamannya, mereka berubah pikiran dan lebih memilih meninggalkan Muslim bin Aqil daripada harus kehilangan dunia mereka. Akhirnya mereka tidak berkeinginan lagi untuk berjuang bersama Muslim. Ini karena Ubaidillah bin Ziyad sendiri memang pintar dan tahu bagaimana memikat mereka agar berkumpul mengelilinginya. Dengan siasat ancaman dan iming-iming yang menggiurkan, Ubaidillah berhasil mengajak para pembesar kabilah ikut bersamanya. Sebagaimana yang diceritakan oleh Mujtami bin Abdullah Aidzi (orang yang tahu betul keadaan Kufah dan baru saja pergi meninggalkan Kufah lalu bergabung dengan cucu Rasulullah saw.) kepada Imam Husain as., “Para pembesar kabilah-kabilah di Kufah telah menerima banyak suapan. Kantung-kantung mereka penuh terisi gandum dan pangan. Tekat mereka telah dibayar. Mereka tidak lagi menginginkan kebenaran. Kini mereka bersatu untuk melawanmu.”[16]
Kekuatan lain dalam komunitas masyarakat yang dimanfaatkan oleh Ubaidillah bin Ziyad adalah kaum UrafaUrafa adalah bentuk plural dari kata ‘Arif. Maksudnya adalah orang-orang yang bertugas melakukan pengawasan atas beberapa orang dan bayaran setiap tahun yang mereka dapatkan dari pemerintah kira-kira sebesar seratus ribu dirham.[17] Pendapatan mereka berbeda-beda, sesuai dengan berapa banyak orang yang harus mereka awasi; ada yang sepuluh orang, dan ada yang sampai seratus orang.[18]
Sejak banyak kabilah Arab yang menetap di Kufah, kedudukan ini menjadi kedudukan resmi dalam pemerintahan.[19] Memberikan dan mencabut jabatan ini pun dilakukan oleh wali kota Kufah sendiri, bukan pemimpin kabilah. Jabatan inilah yang menjembatani pemerintah dengan rakyat. Karena orang-orang yang berada di bawah kontrol jabatan tersebut lebih sedikit daripada jumlah orang yang dipimpin langsung oleh pemimpin kabilah, maka mengkontrol mereka pun menjadi lebih mudah.
Tugas asli seorang ‘Arif adalah menyediakan daftar nama-nama orang yang ia awasi beserta para istri dan anak-anak mereka. Setiap ada bayi yang lahir, mereka mencatat namanya; ketika ada yang meninggal dunia, nama mereka dihapus dari daftar tersebut dengan segera. Dengan demikian mereka memiliki pengetahuan yang cukup akan orang-orang yang mereka awasi. Akan tapi dalam beberapa keadaan tertentu, seperti jika terlihat adanya indikasi-indikasi pemberontakan, tugas mereka menjadi lebih berat. Karena mereka juga ditugaskun untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam lingkaran mereka masing-masing. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa jika terjadi pemberontakan oleh beberapa kelompok lalu pihak pemerintah meminta para ‘Arif tersebut untuk melaporkan nama-nama mereka, maka nama-nama tersebut akan sampai ke tangan pemerintah dengan cepat.[20]
Sejak awal Ubaidillah bin Ziyad datang ke Kufah, dengan kecerdikannya ia telah memanfaatkan kekuatan ini. Dalam permasalahan ini, kemungkinan besar ia mencontoh ayahnya, Ziyad, yang mana sebelumnya juga pernah menjadi wali kota Kufah.
Setelah ceramah pertama kalinya di masjid Jami’, ia datang ke istana Kufah dan mengumpulkan para ‘Urafa lalu berkata kepada mereka, “Kalian harus menuliskan nama-nama orang asing dan orang-orang yang menentang Amirul Mukminin Yazid sebagaimana yang kalian ketahui. Begitu juga kalian harus menuliskan nama-nama mereka yang bertujuan menebar ikhtilaf untukku. Bagi kalian yang menjalankan perintahku, tidak ada masalah; tapi jika ada di antara kalian yang tidak menuliskan nama-nama mereka, maka kalian harus menjamin bahwa tidak ada satu pun pemberontak di antara mereka. Jika ternyata terbukti ada satu pemberontak pun, maka harta dan darah kalian menjadi halal bagi kami. Jika di antara kalian sendiri termasuk seorang pemberontak, maka hukumannya adalah digantung di rumah kalian sendiri dan kami tidak akan memberikan bayaran untukknya sedikitpun.”[21]
Dengan demikian kita dapat memberikan kesimpulan bahwa siasat yang dijalankan oleh Ibnu Ziyad inilah yang memadamkan api kebangkitan di hati para pengikut Muslim bin Aqil.

Menyuap

Pada waktu itu, penghasilan terbesar masyarakat adalah hadian dan pemberian dari pihak pemerintah. Kebiasaan ini telah berlangsung sejak keberhasilan pemerintahan Islam menguasai Persia. Orang-orang yang pernah ikut berperang melawan Persia, mendapatkan bagian mereka masing-masing. Pembiayaan pemerintah ini terus berlangsung lama dan oleh sebab itu kebanyakan orang menjadikan pemberian ini sebagai sumber utama kehidupan mereka. Jarang sekali orang-orang Arab yang mencari nafkah dengan cara menjadi petani, pedagang, pekerja dan lain sebagainya. Kebanyakan yang melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti itu adalah orang-orang non-Arab yang telah melakukan perjanjian sebelumnya dengan mereka untuk bekerja. Sampai-sampai saat itu pekerjaan seperti berdagang, bertani dan lain sebagainya menjadi sesuatu yang aib bagi orang Arab dan bukan pekerjaan yang pantas untuk mereka lakukan.[22]
Pemberian yang dikenal dengan ‘Atha adalah pemberian yang dibagikan oleh pemerintah untuk rakyat baik secara tunai maupun berangsur dalam bentuk uang. Adapun Jirah, adalah pemberian dalam bentuk bahan pangan, seperti kurma, gandum, minyak goreng dan lain sebagainya. Kebiasaan seperti ini jelas sekali dapat menciptakan ketergantungan mayoritas masyarakat Arab disitu kepada pemerintah. Pemertintah yang bertujuan buruk, bisa dengan mudah memanfaatkan keadaan tersebut dan menyalahgunakannya.
Ibnu Ziyad dalam ancaman-ancamannya kepada para ‘Arif pemerintah tidak lupa untuk menyinggung masalah ini. Ia mengancam, jika ditemukan seorang pemberontak dan pemberontak tersebut berada di bawah pengawasan seorang ‘Arif, tertentu, maka hukuman ‘Arif tersebut adalah diputusnya pengucuran dana yang selama ini pernah diperoleh. Dalam kondisi seperti ini, tentunya tidak hanya ‘Urafa yang bekerja keras mencabut akar-akar pemberontakan, tapi pemburu-pemburu keuntungan yang lain pun tak mau kalah.
Tercatat pula dalam sejarah bahwa ketika Muslim dan pengikutnya berhasil mengepung istana Ubaidillah bin Ziyad, satu-satunya faktor besar yang menyebabkan berpalingnya pengikut Muslim dari tujuan yang benar adalah rayuan Ibnu Ziyad yang intinya jika mereka membubarkan diri dan mau mematuhi pemerintah, maka pemerintah akan berjanji menambahkan jumlah ‘Atha yang akan diberikan kepada mereka.[23]
Dengan menjalankan siasat ini, Ibnu Ziyad mampu membubarkan barisan di Kufah yang pernah bersatu untuk Imam Husain as. dan jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh ribu orang.[24]Dengan cara ini ia mampu membuat pasukan Al Husain as. sendiri rela menghunuskan pedang ke arah beliau padahal sebelumnya hati mereka telah bersamanya.[25]
Imam Husain as. juga menyadari hal ini. Beliau menyebut ketergiuran mereka akan uang sebagai salah satu kesalahan besar. Pada hari Asyura beliau berkata kepada semua orang, “Kalian semua mengkhianatiku dan tidak mendengarkan perkataanku. Menerima uang haram dan mengenyangkan perut kalian dengan makanan haram adalah penyebab pengkhianatan kalian. Dengan demikian maka hati-hati kalian telah terhijabi.”[26]

[1] Waq’atu At Thaff, halaman 92.
[2] Biharul Anwar, jilid 44, halaman 344.
[3] Waq’atut Thaff, halaman 90 dan 91.
[4] Tarikh Thabari, jilid 6, halaman 22.
[5] Ibid, jilid 5, halaman 425.
[6] Ibid.
[7] Ibid, halaman 142.
[8] Waq’atut Thaff, halaman 93-95.
[9] Tarikh Thabari, jilid 4, halaman 306.
[10] Abdul Razzaq Muqarram, Maqtalul Husain, halaman 189.
[11] Waq’atut Thaff, halaman 109.
[12] Ibid, halaman 110. Ia berkata, “Aku akan menganyomi dan berbuat baik terhadap kalian bagaikan seorang ayah jika kalian mematuhi kami. Apabila kalian menentang dan membelot dari kami, maka kalian akan rasakan sayatan pedang kami.”
[13] Ibid, halaman 125.
[14] Ibid.
[15] Ibid, halaman 126.
[16] Waq’atut Thaff, halaman 174.
[17] Tarikh Thabari, jilid 3, halaman 12.
[18] Ibid.
[19] Al Hayatul Ijtimaiyah wal Iqtishadiyah fil Kufah, halaman 49.
[20] Ibid.
[21] Waq’atut Thaff, halaman 11; Tarikh Thabari, jilid 4, halaman 267.
[22] Al Hayatul Ijtima’iyah Wal Iqtishadiyah Fil Kufah, halaman 219.
[23] Waq’atut Thaff, halaman 125; Tarikh Thabari, jilid 4, halaman 277.
[24] Biharul Anwar, jilid 45, halaman 4.
[25] Hayatul Imamil Husain, jilid 2, halaman 453.
[26] Biharul Anwar, jilid 45, halaman 8.

No comments:

Post a Comment